Sunday, November 15, 2015

Sekadar Jeda Bahasa; Ungkapan Idiomatis

Bahasa dan sastra adalah kata yang berbeda dan memiliki makna yang berbeda. Namun, keduanya saling terkait satu sama lain dan tak bisa dipisahkan. Khasanah bahasa begitu luas cakupanya. Termasuk ketika kita membicarakan bahasa kebanggaan kita, Bahasa Indonesia. Banyak hal menarik yang dapat dibahas dari sebuah bahasa, salah satunya ungkapan idiomatis. Dalam ilmu bahasa ada yang disebut dengan idiom atau ungkapan atau juga kata kiasan. Seorang redaktur bahasa di salah satu media cetak ibu kota bernama Irmina Irawati, pernah menuliskan sebuah artikel mengenai ungkapan idiomatis dalam bukunya yang berjudul "Sekadar Jeda Bahasa; Menemani Minum Teh Anda". Berikut adalah kutipan artikel tersebut.

Ungkapan idiomatis merupakan rangkaian dua kata yang menghasilkan makna idiom atau kiasan. Rangkaian kata tersebut begitu erat menyatu, sehingga masing-masing kata tidak bisa diganti dengan kata lain yang menghasilkan makna yang sama. Namun, kebanyakan dari sejumlah kata kiasan tersebut sebenarnya setiap rangkaian dua kata itu juga memiliki arti yang sebenarnya atau arti yang bukan kiasan.

Banyak sekali contohnya. Sebut saja beberapa di antaranya seperti; adu domba, banting setir, banting tulang, busung dada, hidung belang, jago merah, kambing congek, kambing hitam, kepala batu, kepala dingin, kutu buku, kutu loncat, lapang dada, macan ompong, macan tidur, naik daun, panjang tangan, pepesan kosong, ringan tangan, tahi lalat, tangan dingin, turun gunung, turun ranjang.

Contoh yang pertama, adu domba. Kata yang satu ini jelas tidak dapat diganti dengan adu kerbau atau adu macan. Padahal, jelas-jelas yang diadu dalam maksud kata tersebut adalah orang atau manusia. Sebab, adu domba merupakan kata kiasan. Kalau yang bukan kiasan, misalnya adu jotos ataupun adu penalti.

Khususnya untuk kata banting setir, yang sudah tentu memiliki dua makna, yakni makna yang sebenarnya dan makna kiasan. Dalam bahasan kita tentunya yang dibahas adalah yang bermakna kiasan. Banting setir dimaknai sebagai mengubah arah ataupun mengganti haluan. Misalnya dalam hal pekerjaan, kegemaran ataupun kebiasaan.

Berdekatan dengan kata banting setir ada banting tulang. Ungkapan idiomatis yang ini dimaknai sebagai bekerja keras. Nah, mengapa tidak dikatakan sebagai bekerja berat ataupun bekerja giat? Rupanya bekerja keras itu sendiri sudah merupakan kata idiomatis.

Lain lagi halnya untuk menggambarkan lelaki yang mudah sekali menunjukkan rasa suka -atau bahkan iseng- kepada perempuan lain yang bukan istrinya, maka ia disebut hidung belang. Ungkapan idiomatis hidung belang ini tentunya tidak bisa digantikan dengan pipi belang ataupun hidung bengkok, misalnya. Padahal, si lelaki yang dimaksudkan tersebut sesungguhnya tidak memiliki hidung yang belang. Bisa jadi hidungnya normal atau polos-polos saja.

Begitu pula dengan kutu buku. Ungkapan idiomatis ini untuk menggambarkan seseorang yang suka sekali membaca buku, tidka terbatas pada buku tertentu, tetapi buku mengenai apa saja. Kutu buku tidak bisa digantikan dengan kutu kitab ataupun nyamuk buku.

Bagaimana dnegan kutu loncat? Ungkapan idiomatis ini biasanya untuk melukiskan seseorang yang suka berpindah-pindah pekerjaan. Khusus mengenai pekerjaan saja. Bukan berpindah-pindah rumah ataupun berpindah-pindah menjajal makanan dari warung ke warung., atau pula berganti-ganti pacar, misalnya. Tentu pula, kutu loncat tidak bisa digantikan dengan bajing loncat ataupun kutu terbang.

Nah, lain lagi dengan naik daun. Ungkapan idiomatis ini untuk menyebut seseorang (artis, pengusaha, pejabat, ulama, dsb.) atau sebuah produk (sabun atau bahkan lagu), sebuah merek sebuah perusahaan, yang sedang menjajak keterkenalan nama atau popularitasnya. Pastinya, naik daun pun tidak bisa digantikan dengan naik pohon atau pun pucuk daun. Padahal, sebenarnya yang biasanya naik daun itu kan ulat ya.

Satu lagi contohnya. Sebut saja tahi lalat atau yang dalam bahasa Jawa disebut andeng-andeng. Tanda tersebut merupakan sebentuk titik kecil berwarna hitam atau cokelat, dapat pula berupa sebentuk kecil daging tumbuh, yang terlihat di permukaan kulit di bagian tubuh mana saja. Sudah tentu, ungkapan idiomatis tahi lalat ini tidak dapat digantikan dengan tahi kerbau ataupun berak lalat, misalnya.

Sunday, November 1, 2015

Welcome to Sinekdok.com

Karya sastra di Indonesia mungkin tidaklah menempati posisi yang banyak diminati oleh masyarakatnya. Tingkat minat baca tulis adalah hal yang paling berpengaruh terhadap perkembangan karya sastra di Indonesia. Selama minat baca tulis masyarakat tinggi, karya sastra juga akan bergerak lurus sejalan dengannya. Namun pada kenyataannya, sudah bukan rahasia lagi jika minat baca tulis masyarakat Indonesia sangat rendah. Sehingga minat terhadap karya sastra pun akhirnya juga ikut runtuh.

Di sisi lain sarana bagi para penulis pun juga sangat minim. Ruang untuk para penulis menuangkan karyanya belum cukup memadai. Berbagai permasalahan seperti penerbitan, plagiasi, dan lain-lain menjadi kendala yang dirasakan oleh para penulis.

Untuk itu, masyarakat dan pemerintah sudah sepatutnya bekerja sama dalam memberikan ruang bagi para penulis. Pemerintah dapat membangun ataupun sekedar mendukung pengadaan sarana bagi para penulis dengan berbagai cara. Sementara masyarakat juga turut berpartisipasi dalam mengapresiasi karya sastra, salah satunya adalah dengan berkarya.

Dalam berkarya sastra, tidak semua bentuk karya dapat diminati. Salah satu bentuk karya sastra yang kini sudah jarang di tengok adalah puisi. Ketertarikan pembaca atau penulis terhadap karya sastra yang satu ini memang sudah tidak se-antusias pada tahun ’45 sampai ‘70an. Di tahun-tahun tersebut, banyak peristiwa-peristiwa besar yang dituangkan ke dalam karya sastra puisi. Sehingga pada kisaran tahun tersebut dapat dikatakan bahwa karya sastra sedang dalam puncak kejayaannya.

Dari latar belakang tersebut serta ketertarikan kami pada karya sastra, maka kami mencoba membuat suatu platform yang diharapkan dapat membangkitkan kembali kejayaan kesusastraan Indonesia. Tepat hari ini, Minggu, 1 November 2015, kami resmi merilis sinekdok.com, sebuah media yang diperuntukkan bagi semua kalangan yang memiliki ketertarikan pada dunia penulisan sastra. Sinekdok menjadi media untuk berbagi dan menuangkan karya-karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, kata-kata motivasi, quote bergambar, bahkan musikalisasi puisi, yang semuanya dikemas dalam bentuk interaksi di media sosial. Mengapa dikemas dalam bentuk interaksi media sosial? Karena kami ingin menciptakan kesan bahwa berkarya sastra bisa dilakukan dengan cara yang lebih menyenangkan. 

Selain itu, sinekdok juga memberikan kesempatan pada semua penulis yang menuangkan karyanya, untuk kemudian bisa diterbitkan dalam bentuk buku. Tidak hanya itu, konten yang menarik dari penulis juga dapat dijadikan produk-produk yang bernilai jual, seperti ; kaos, wood painting, mug, dan lain-lain yang nantinya penulis akan mendapatkan royalty dari penjualan produk tersebut. Dengan begitu, diharapkan sinekdok dapat memperkaya sastra Indonesia serta melahirkan sastrawan-sastrawan baru yang kompeten.
resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut

Copyright © Sinekdok Official | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | BTheme.net      Up ↑