Bahasa dan sastra adalah kata yang berbeda dan memiliki makna yang berbeda. Namun, keduanya saling terkait satu sama lain dan tak bisa dipisahkan. Khasanah bahasa begitu luas cakupanya. Termasuk ketika kita membicarakan bahasa kebanggaan kita, Bahasa Indonesia. Banyak hal menarik yang dapat dibahas dari sebuah bahasa, salah satunya ungkapan idiomatis. Dalam ilmu bahasa ada yang disebut dengan idiom atau ungkapan atau juga kata kiasan. Seorang redaktur bahasa di salah satu media cetak ibu kota bernama Irmina Irawati, pernah menuliskan sebuah artikel mengenai ungkapan idiomatis dalam bukunya yang berjudul "Sekadar Jeda Bahasa; Menemani Minum Teh Anda". Berikut adalah kutipan artikel tersebut.
Ungkapan idiomatis merupakan rangkaian dua kata
yang menghasilkan makna idiom atau kiasan. Rangkaian kata tersebut begitu erat
menyatu, sehingga masing-masing kata tidak bisa diganti dengan kata lain yang
menghasilkan makna yang sama. Namun, kebanyakan dari sejumlah kata kiasan
tersebut sebenarnya setiap rangkaian dua kata itu juga memiliki arti yang sebenarnya
atau arti yang bukan kiasan.
Banyak sekali contohnya. Sebut saja beberapa di
antaranya seperti; adu domba, banting setir, banting tulang, busung dada,
hidung belang, jago merah, kambing congek, kambing hitam, kepala batu, kepala
dingin, kutu buku, kutu loncat, lapang dada, macan ompong, macan tidur, naik
daun, panjang tangan, pepesan kosong, ringan tangan, tahi lalat, tangan dingin,
turun gunung, turun ranjang.
Contoh yang
pertama, adu domba. Kata yang satu ini jelas tidak dapat diganti dengan adu
kerbau atau adu macan. Padahal, jelas-jelas yang diadu dalam maksud kata
tersebut adalah orang atau manusia. Sebab, adu domba merupakan kata kiasan. Kalau
yang bukan kiasan, misalnya adu jotos ataupun adu penalti.
Khususnya untuk kata banting setir, yang sudah
tentu memiliki dua makna, yakni makna yang sebenarnya dan makna kiasan. Dalam bahasan
kita tentunya yang dibahas adalah yang bermakna kiasan. Banting setir dimaknai
sebagai mengubah arah ataupun mengganti haluan. Misalnya dalam hal pekerjaan,
kegemaran ataupun kebiasaan.
Berdekatan dengan kata banting setir ada banting
tulang. Ungkapan idiomatis yang ini dimaknai sebagai bekerja keras. Nah,
mengapa tidak dikatakan sebagai bekerja berat ataupun bekerja giat? Rupanya bekerja
keras itu sendiri sudah merupakan kata idiomatis.
Lain lagi halnya untuk menggambarkan lelaki yang
mudah sekali menunjukkan rasa suka -atau bahkan iseng- kepada perempuan lain
yang bukan istrinya, maka ia disebut hidung belang. Ungkapan idiomatis hidung
belang ini tentunya tidak bisa digantikan dengan pipi belang ataupun hidung
bengkok, misalnya. Padahal, si lelaki yang dimaksudkan tersebut sesungguhnya
tidak memiliki hidung yang belang. Bisa jadi hidungnya normal atau polos-polos
saja.
Begitu pula dengan kutu buku. Ungkapan idiomatis
ini untuk menggambarkan seseorang yang suka sekali membaca buku, tidka terbatas
pada buku tertentu, tetapi buku mengenai apa saja. Kutu buku tidak bisa
digantikan dengan kutu kitab ataupun nyamuk buku.
Bagaimana dnegan kutu loncat? Ungkapan idiomatis
ini biasanya untuk melukiskan seseorang yang suka berpindah-pindah pekerjaan. Khusus
mengenai pekerjaan saja. Bukan berpindah-pindah rumah ataupun berpindah-pindah
menjajal makanan dari warung ke warung., atau pula berganti-ganti pacar,
misalnya. Tentu pula, kutu loncat
tidak bisa digantikan dengan bajing loncat ataupun kutu terbang.
Nah,
lain lagi dengan naik daun. Ungkapan idiomatis ini untuk menyebut seseorang
(artis, pengusaha, pejabat, ulama, dsb.) atau sebuah produk (sabun atau bahkan
lagu), sebuah merek sebuah perusahaan, yang sedang menjajak keterkenalan nama
atau popularitasnya. Pastinya, naik daun pun tidak bisa digantikan dengan naik
pohon atau pun pucuk daun. Padahal, sebenarnya yang biasanya naik daun itu kan
ulat ya.
Satu lagi
contohnya. Sebut saja tahi lalat atau yang dalam bahasa Jawa disebut
andeng-andeng. Tanda tersebut merupakan sebentuk titik kecil berwarna hitam
atau cokelat, dapat pula berupa sebentuk kecil daging tumbuh, yang terlihat di
permukaan kulit di bagian tubuh mana saja. Sudah tentu, ungkapan idiomatis tahi
lalat ini tidak dapat digantikan dengan tahi kerbau ataupun berak lalat,
misalnya.